sumber :https://www.youtube.com/watch?v=NFFp7JuVyuA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Profesi keperawatan adalah rekan dari profesi kedokteran. Hubungan antara perawat dan dokter adalah hubungan mitra kerja bukan hubungan antara atasan dan bawahan, tapi persepsi yang ada dalam masyarakat menganggap bahwa perawat adalah asisten dari dokter. Padahal keduanya mempunyai kedudukan yang sama dan juga tingkat pendidikan yang sama yakni sama-sama S1. Yang membedakan keduanya adalah bidang garapannya yang berbeda.
Perawat dengan tingkat pendidikan S1 harus mempunyai kompetensi yang berbeda dengan perawat D3. Perawat S1 harus mengerti tentang ilmu medikasi yakni ilmu yang berkaitan dengan Undang-undang dan standar Obat, sifat kerja obat, hal-hal yang mempengaruhi kerja obat dan rute pemberian obat serta proses keperawatan dalam memberikan medikasi pada kliennya. Dalam hal rute pemberian obat perawat harus lebih tahu dari pada dokter karena ketika di rumah sakit perawat adalah orang yang bertanggung jawab mengatur pemberian obat serta waktu pemberian obat dan hal ini merupakan garapan bidang keperawatan. Dan oleh karena itulah dalam makalah ini akan menjelaskan permasalahan yang terkait dengan hal sifat kerja obat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana sifat kerja obat?
1.3 TUJUAN
Mengetahui sifat kerja obat beserta komponen-komponennya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DESKRIPSI SIFAT KERJA OBAT
Obat bekerja menghasilkan efek terapeutik yang bermanfaat. Sebuah obat tidak menciptakan suatu fungsi di dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi mengubah fungsi fisiologis. Obat dapat melindungi sel dari pengaruh agents kimia lain, meningkatkan fungsi sel, atau mempercepat atau memperlambat proses kerja sel. Obat dapat menggantikan zat tubuh yang hilang (contoh, insulin, hormon tiroid, atau estrogen).
2.2MEKANISME KERJA OBAT
Obat menghasilkan kerja dengan mengubah cairan tubuh atau membran sel atau dengan beinteraksi dengan tempat reseptor. Jel aluminium hidroksida obat mengubah zat kimia suatu cairan tubuh (khususnya dengan menetralisasi kadar asam lambung). Obat-obatan, misalnya gas anestsi mum, beinteraksi dengan membran sel. Setelah sifat sel berubah, obat mengeluarkan pengaruhnya. Mekanisme kerja obat yang paling umum ialah terikat pada tempat reseptor sel. Reseptor melokalisasi efek obat. Tempat reseptor berinteraksi dengan obat karena memiliki bentuk kimia yang sama. Obat dan reseptor saling berikatan seperti gembok dan kuncinya. Ketika obat dan reseptor saling berikatan, efek terapeutik dirasakan. Setiap jaringan atau sel dalam tubuh memiliki kelompok reseptor yang unik. Misalnya, reseptor pada sel jantung berespons pada preparat digitalis.
Suatu obat yang diminum per oral akan melalui tiga fase: farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika obat diberikan melaluirute subkutan, intramuscular, atau intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase kedua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari empat proses (subfase):absorpsi, distribusi, metabolisme (atau biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ketiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
- A. Fase Farmasetik (Disolusi)
Sekitar 80% obat diberikan melaui mulut; oleh karena itu, farmasetik(disolusi) adalah fase pertama dari kerja obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat-obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorsi. Obat dalam bentuk padat (tablet atau pil) harus didisintegrasi menjadi partikel-partikel kecil supaya dapat larut ke dalam cairan, dan proses ini dikenal sebagai disolusi.
Tidak 100% dari sebuah tablet merupakan obat. Ada bahan pengisi dan pelembam yang dicampurkan dalam pembuatan obat sehingga obat dapat mempunyai ukuran tertentu dan mempercepat disolusi obat tersebut. Beberapa tambahan dalam obat sperti ion kalium (K)dan natrium (Na)dalam kalium penisilin dan natrium penisilin, meningkatkan penyerapan dari obat tersebut. Penisilin sangat buruk diabsorbsi dalam saluran gastrointestinal, karena adanya asam lambung. Dengan penambahan kalium atau natrium ke dalam penisilin, maka obat lebih banyak diabsorbsi.
Disintegrasi adalah pemecahan tablet atau pil menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, dan disolusi adalah melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam cairan gastrointestinal untuk diabsorbsi. Rate limiting adalah waktu yang dibutuhkan oleh sebuah obat untuk berdisintegrasi dan sampai menjadi siap untuk diabsorbsi oleh tubuh. Obat-obat dalam bentuk cair lebih cepat siap diserap oleh saluran gastrointestinal daripada obat dalam bentuk padat. Pada umumnya, obat-obat berdisintegrasi lebih cepat dan diabsorpsi lebih cepat dalam cairan asam yang mempunyai pH 1 atau 2 daripada cairan basa. Orang muda dan tua mempunyai keasaman lambung yang lebih rendah sehingga pada umumnya absorpsi obat lebih lambat untuk obat-obat yang diabsorpsi terutama melalui lambung.
Obat-obat dengan enteric-coated,EC (selaput enterik) tidak dapat disintegrasi oleh asam lambung, sehingga disintegrasinya baru terjadi jika berada dalam suasana basa di dalam usus halus. Tablet anti coated dapat bertahan di dalam lambung untuk jangka waktu lama; sehingga, oleh karenanya obat-obat demikian kurang efektif atau efek mulanya menjadi lambat.
Makanan dalam saluran gastrointestinal dapat menggaggu pengenceran dan absorpsi obat-obat tertentu. Beberapa obat mengiritasi mukosa lambung, sehingga cairan atau makanan diperluan untuk mengencerkan konsentrasi obat.
- B. Fase Farmakokinetik
- Absorpsi
Absorpsi aktif umumnya terjadi melalui difusi(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah). Absorpsi aktif membutuhkan carier atau pembawa untuk bergerak melawan konsentrasi. Pinositosis berarti membawa obat menembus membran dengan proses menelan.
Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, nyeri, stress, kelaparan, makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat vasokonstriktor, atau penyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stress, dan makanan yang padat, pedas, dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat mengurangi aliran darah dengan mengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot, sehingga menurunkan sirkulasi ke saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi absorpsi obat antara lain rute pemberian obat, daya larut obat, dan kondisi di tempat absorpsi.
Setiap rute pemberian obat memiliki pengaruh yang berbeda pada absorpsi obat, bergantung pada struktur fisik jaringan. Kulit relatif tidak dapat ditembus zat kimia, sehingga absorpsi menjadi lambat. Membran mukosa dan saluran nafas mempercepat absorpsi akibat vaskularitas yang tinggi pada mukosa dan permukaan kapiler-alveolar. Karena obat yang diberikan per oral harus melewati sistem pencernaan untuk diabsorpsi, kecepatan absorpsi secara keseluruhan melambat. Injeksi intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat karena dengan rute ini obat dengan cepat masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Daya larut obat diberikan per oral setelah diingesti sangat bergantung pada bentuk atau preparat obat tersebut. Larutan atau suspensi, yang tersedia dalam bentuk cair, lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk tablet atau kapsul. Bentuk dosis padat harus dipecah terlebih dahulu untuk memajankan zat kimia pada sekresi lambung dan usus halus. Obat yang asam melewati mukosa lambung dengan cepat. Obat yang bersifat basa tidak terabsorpsi sebelum mencapai usus halus.
Kondisi di tempat absorpsi mempengaruhi kemudahan obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Apabila kulit tergoles, obat topikal lebih mudah diabsorpsi. Obat topikal yang biasanya diprogamkan untuk memperoleh efek lokal dapat menimbulkan reaksi yang serius ketika diabsorpsi melalui lapisan kulit. Adanya edema pada membran mukosa memperlambat absorpsi obat karena obat membutuhkan waktu yang lama untuk berdifusi ke dalam pembuluh darah. Absorpsi obat parenteral yang diberikan bergantung pada suplai darah dalam jaringan.Sebelum memberikan sebuah obat melalui injeksi, perawat harus mengkaji adanya faktor lokal, misalnya; edema, memar, atau jaringan perut bekas luka, yang dapat menurunkan absorpsi obat. Karena otot memiliki suplai darah yang lebih banyak daripada jaringan subkutan (SC), obat yang diberikan per intramuskular (melalui otot) diabsorpsi lebih cepat daripada obat yang disuntikan per subkutan. Pada beberapa kasus, absorpsi subkutan yang lambat lebih dipilih karena menghasilkan efek yang dapat bertahan lama. Apabila perfusi jaringan klien buruk, misalnya pada kasus syok sirkulasi, rute pemberian obat yang terbaik ialah melalui intravena. Pemberian obat intravena menghasilkan absorpsi yang paling cepat dan dapat diandalkan.
Obat oral lebih mudah diabsorpsi, jika diberikan diantara waktu makan. Saat lambung terisi makanan, isi lambung secara perlahan diangkut ke duodenum, sehingga absorpsi melambat. Beberapa makanan dan antasida membuat obat berikatan membentuk kompleks yang tidak dapat melewati lapisan saluran cerna. Contoh, susu menghambat absorpsi zat besi dan tetrasiklin. Beberapa obat hancur akibat peningkatan keasaman isi lambung dan pencernaan protein selama makan. Selubung enterik pada tablet tertentu tidak larut dalam getah lambung, sehingga obat tidak dapat dicerna di dalam saluran cerna bagian atas. Selubung juga melindungi lapisan lambung dari iritasi obat.
Rute pemberian obat diprogramkan oleh pemberi perawatan kesehatan. Perawat dapat meminta obat diberikan dalam cara atau bentuk yang berbeda, berdasarkan pengkajian fisik klien. Contoh, bila klien tidak dapat menelan tablet maka perawat akan meminta obat dalam bentuk eliksir atau sirup. Pengetahuan tentang faktor yang dapat mengubah atau menurunkan absorpsi obat membantu perawat melakukan pemberian obat dengan benar. Makanan di dalam saluran cerna dapat mempengaruhi pH, motilitas, dan pengangkuan obat ke dalam saluran cerna. Kecepatan dan luas absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh makanan. Perawat harus mengetahui implikasi keperawatan untuk setiap obat yang diberikan. Contohnya, obat seperti aspirin, zat besi, dan fenitoin, natrium (Dilantin) mengiritasi saluran cerna dan harus diberikan bersama makanan atau segera setelah makan. Bagaimanapun makanan dapat mempengaruhi absorpsi obat, misalnya kloksasilin natrium dan penisilin. Oleh karena itu, obat-obatan tersebut harus diberikan satu sampai dua jam sebelum makan atau dua sampai tiga jam setelah makan. Sebelum memberikan obat, perawat harus memeriksa buku obat keperawatan, informasi obat, atau berkonsultasi dengan apoteker rumah sakit mengenai interaksi obat dan nutrien.
- Distribusi
- Dinamika Sirkulasi
Membran biologis berfungsi sebagai barier terhadap perjalanan obat. Barier darah-otak hanya dapat ditembus oleh obat larut lemak yang masuk ke dalam otak dan cairan serebrospinal. Infeksi sistem saraf pusat perlu ditangani dengan antibiotik yang langsung disuntikkan ke ruang subaraknoid di medula spinalis. Klien lansia dapat menderita efek samping (misalnya konfusi) akibat perubahan permeabilitas barier darah-otak karena masuknya obat larut lemak ke dalam otak lebih mudah. Membran plasenta merupakan barier yang tidak selektif terhadap obat. Agens yang larut dalam lemak dan tidak larut dalam lemak dapat menembus plasenta dan membuat janin mengalami deformitas (kelainan bentuk), depresi pernafasan, dan pada kasus penyalahgunaan narkotik, gejala putus zat. Wanita perlu mengetahui bahaya penggunaan obat selama masa hamil.
- Berat dan Komposisi Badan
- Ikatan Protein
Kadar protein yang rendah menurunkan jumlah tempat pengikatan dengan protein, sehingga meningkatkan jumlah obat bebas dalam plasma. Dengan demikian dalam hal ini dapat terjadi kelebihan dosis, karena dosis obat yang diresepkan dibuat berdasarkan persentase di mana obat itu berikatan dengan protein.
Seorang perawat juga harus memeriksa kadar protein plasma dan albumin plasma klien karena penurunan protein (albumin) plasma akan menurunkan tempat pengikatan dengan protein sehingga memungkinkan lebih banyak obat bebas dalam sirkulasi. Tergantung dari obat yang diberikan akibat hal ini dapat mengancam nyawa.Abses, aksudat, kelenjar dan tumor juga menggangu distribusi obat, antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan eksudat. Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti lemak, tulang, hati, mata dan otot.
- Metabolisme Atau Biotransformasi
Waktu paruh, dilambangkan dengan t ½, dari suatu obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh separuh konsentrasi obat untuk dieliminasi, metabolisme dan eliminasi mempengaruhi waktu paruh obat, contohnya, pada kelainan fungsi hati atau ginjal, waktu paruh obat menjadi lebih panjang dan lebih sedikit obat dimetabolisasi dan dieliminasi. Jika suatu obat diberikan terus – menerus, maka dapat terjadi penumpukan obat.
Suatu obat akan melalui beberapa kali waktu paruh sebelum lebih dari 90% obat itu dieliminasi. Jika seorang klien mendapat 650mg aspirin (miligram) dan waktu paruhnya adalah 3jam, maka dibutuhkan 3jam untuk waktu paruh pertama untuk mengeliminasi 325mg, dan waktu paruh kedua 9 atau 6jam untuk mengeliminasi 162mg berikutnya, dan seterusnya sampai pada waktu paruh keenam atau 18jam dimana tinggal 10mg aspirin terdapat dalam tubuh, waktu paruh selama 4-8jam dianggap singkat, dan 24jam atau lebih dianggap panjang. Jika obat memiliki waktu paruh yang panjang (seperti digoksin: 36 jam), maka diperlukan beberapa hari agar tubuh dapat mengeliminasi obat tersebut seluruhnya, waktu paruh obat juga dibicarakan dalam bagian berikut mengenai farmakodinamik, karena proses farmakodinamik berkaitan dengan kerja obat.
- EkskresiAtau Eliminasi
pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH urin bervariasi dari 4,5 sampai 8. Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat yang bersifat basa lemah. Aspirin, suatu asam lemah, diekskresi dengan cepat dalam urin yang basa. Jika seseorang meminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry dalam jumlah yang banyak dapat menurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang asam.
- C. Fase Farmakodinamik
2.3MULA, PUNCAK, DAN LAMA KERJA OBAT
Mula kerjadimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai konsentrasi efektif minimum ( MEC = minimum effective concertration ). Puncak kerja terjadi pada saat obat mencapai konsentrasi tertinggi dalam darah atau plasma. Lama kerja adalah lamanya obat mempunyai efek farmakologis. Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter dari kerja obat; mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.
Perlu untuk memahami hubungan antara respons-waktu dengan pemberian obat, jika kadar obat dalam plasma atau serum menurun dibawah ambang atau MEC, maka ini berarti dosis obat yang terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas.
2.4TEORI RESEPTOR
Kebanyakan reseptor, berstruktur protein, ditemukan pada membran sel. Obat-obat yang bekerja melalui reseptor, dengan berikatan dengan reseptor maka akan menghasilkan (memulai) respon atau menghambat (mencegah) respon. Aktivitas dari kebanyakan obat ditentukan oleh kemampuan obat untuk berikatan dengan reseptor spesifik. Semakin baik suatu obat berikatan dengan tempat reseptor, maka obat tersebut semakin aktif secara biologis. Ini serupa dengan memasukkan kunci yang tepat ke dalam lubang kunci. Obat-obat yang menghasilkan respons disebut agonis,dan obat-obat yang menghambat respons disebut antagonis. Hampir semua obat, agonis dan antagonis, kurang mempunyai efek spesifik dan selektif. Sebuah reseptor yang terdapat ditempat-tempat berbeda dalam tubuh menghasilkan bermacam-macam respons fisiologis, tergantung dimana reseptor itu berada. Reseptor-reseptor kolinergik terdapat dikandung kemih, jantung, pembuluh darah, paru-paru, dan mata.
Sebuah obat yang merangsang atau menghambat reseptor-reseptor koligernik akan bekerja pada semua letak anatomis, obat-obat yang bekerja pada berbagai tempat seperti itu dianggap sebagai nonspesifik atau memiliki nonspesifitas. Betanekol dapat diresepkan utuk retensi urin pascabedah untuk meningkatkan kontraksi kandung kemih. Karena betanekol mempengaruhi reseptor koligernik, maka tempat koligernik lain ikut terpengaruh denyut jantung menurun, tekanan darah menurun, sekresi asam lambung meingkat, bronkiolus menyempit, dan pupil mata mengecil. Efek – efek lain ini mungkin diinginkan mungkin juga tidak, dan mungkin berbahaya atau mungkin juga tidak berbahaya bagi pasien. Obat-obat yang menimbulkan berbagai respons di seluruh tubuh ini memiliki respons yang nonspesifik.
Obat-obat juga dapat bekerja pada reseptor-reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor yang berbeda. Obat-obat yang mempengaruhi berbagai reseptor disebut nonselektif atau memiliki nonselektifitas. Obat-obat yang menghasilkan respons tetapi tidak bekerja pada reseptor dapat berfungsi dengan merangsang aktivitas enzim atau produksi hormon.
Empat kategori dari kerja obat meliputi perangsangan atau penekanan, penggantian, pencegahan atau membunuh organisme, dan iritasi. Kerja obat yang merangsang akan meningkatkan kecepatan aktivitas sel atau meningkatkan sekresi dari kelenjar. Obat-obat yang menekan akan menurunkan aktivitas sel dan mengurangi fungsi organ tertentu. Obat-obat pengganti, seperti insulin, menggantikan senyawa-senyawa tubuh yang esensial. Obat-obat yang mencegah atau membunuh organisme menghambat pertumbuhan sel bakteria. Penisilin mengadakan efek bakterisidanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri. Obat-obat juga dapat bekerja melalui mekanisme iritasi laksatif dapat mengiritasi dinding kolon bagian dalam, sehingga meningkatkan peristaltik dan defekasi..
Kerja obat dapat berlangsung beberapa jam, hari, minggu, atau bulan. Lama kerja tergantung dari waktu paruh obat, jadi waktu paruh merupakan pedoman yang penting untuk menentukan pedoman yang penting untuk menentukan interval dosis obat. Obat-obat dalam waktu paruh pendek, seperti penisilin G ( t 1/2 –nya 2 jam ), diberikan beberapa kali sehari, obat-obat dengan waktu paruh panjang, seperti digoksin (36jam), diberikan sekali sehari, jika sebuah obat dengan waktu paruh panjang diberikan dua kali atau lebih dalam sehari, maka terjadi penimbunan obat didalam tubuh dan mungkin dapat menimbulkan toksitas obat, jika terjadi gangguan hati atau ginjal, maka waktu paruh obat akan meningkat. Dalam hal ini, dosis obat yang tinggi atau seringnya pemberian obat dapat menimbulkan toksisitas obat.
2.5KADAR PUNCAK DAN KADAR TERENDAH OBAT
Kadar puncak obatadalah konsentrasi plasma tertinggi dari sebuah obat pada waktu tertentu. Jika obat diberikan secara oral, waktu puncaknya mungkin 1 sampai 3 jam setelah pemberian obat, tetapi jika obat diberikan secara intravena, kadar puncaknya mungkin dicapai dalam 10 menit. Sampel darah harus diambil pada waktu puncak yang dianjurkan sesuai dengan rute pemberian.
Kadar terendah adalah konsentrasi plasma terendah dari sebuah obat dan menunjukan kecepatan eliminasi obat. Kadar terendah diambil beberapa menit sebelum obat diberikan, tanpa memandang apakah diberikan secara oral atau intravena. Kadar puncak menunjukkan kecepatan absorpsi suatu obat, dan kadar terendah menunjukkan kecepatan eliminasi suatu obat. Kadar puncak dan terendah dibutuhkan obat-obat yang memiliki indeks terapeutik yang sempit dan dianggap toksik, seperti amininoglokosida (antibiotika). Jika kadar terendah terlalu tinggi, maka toksisitas akan terjadi.
2.6DOSIS PEMBEBANAN
Jika ingin didapatkan efek obat segera, maka dosis awal yang besar, dikenal sebagai dosis pembebanan, dari obat tersebut diberikan untuk mencapai MEC yang cepat dalam plasma. Setelah dosis awal yang besar, maka diberikaan dosis sesuai dengan resep per hari. Diagksin, suatu preparat digitalis, membutuhkan dosis pembebanan pada saat pertama kali diresepkan. Digitalis adalah istilah yang dipakai untuk mencapai kadar MEC untuk digoksin dalam plasma dalam waktu yang singkat.
Karena struktur kimia dan kerja fisiologisnya, sebuah obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek.
- Efek terapeutik
- Efek Samping
- Reaksi Merugikan
- Efek Toksik
- Reaksi Idiosinkratik
- Reaksi Alergi
Alergi obat dapat bersifat ringan atau berat. Gejala alergi bervariasi, bergantung pada individu dan obat. Contoh, antibiotik dapat menimbulkan banyak reaksi alergi. Gejala alergi yang umum timbul dirangkum pada Tabel 35-4. Reaksi yang berat atau reaksi anafilaksis ditandai oleh konstriksi (pengecilan) otot bronkiolus, edema faring dan laring, mengi berat, dan sesak napas.
Deskripsi | |
Erupsi
kulit yang bentuknya tidak beraturan, meninggi, ukuran dan bentuk
bervariasi; erupsi memilki batas berwarna merah dan bagian tengahnya
berwarna pucat
|
|
Vesikel kecil dan meninggi yang biasanya berwarna merah; seringkali tersebar di seluruh tubuh | |
Gatal-gatal pada kulit, kebanyakan timbul bersama ruam | |
Inflamasi lapisan memberan mukosa hidung; menimbulkan bengkak dan penegeluaran rabas encer dan berair |
Klien juga dapat mengalami hipotensi berat, sehingga membutuhkan resusitasi darurat. Klien yang memilki riwayat alergi terhadap tertentu harus menghindari penggunaan berulang obat tersebut, dan setelah sadar klien harus mengenakan gelang atau kalung identifikasi, sehingga perawat dan dokter dapat mengetahui klien tersebut alergi terhadap obat tertentu.
- Toleransi Terhadap Obat
- Interaksi Obat
Obat dapat memilki efej sinergis atau adiktif apabila dua obat diberikan secara bersamaan. Efek sinergis membuat kerja fisiologis kombinasi kedua obat tersebut lebih besar daripada efek obat bila diberikan secara terpisah. Alcohol adalah depresan susunan saraf pusat yang memilki efek sinergis pada antihistamin, antidepresan, barbiturate, dan analgesic narkotik.
Interaksi obat selalu diharapkan. Seringkali seorang dokter memprogamkan terapi obat untuk menciptakan interaksi obat guna mendapatkan keuntungan terapeutik. Contoh, klien yang menderita hipertensi berat dapat menerima kombinasi terapi obat, misalnya diuretic dan vasodilator, yang bekerja bersama menjaga tekanan darah pada kadar yang diinginkan.
- Respon Dosis Obat
Tujuan suatu obat diprogram ialah untuk mencapai kadar darah yang konstan dalam rentang terapeutik yang aman. Dosis berulang diperlukan utnuk mencapai konsentrasi terapeutik konstan suatu obat karena sebagian obat selalu dibuang (dieksresi). Ketika absorpsi berhenti, hanya metabolism, ekskresi, dan distribusi yang berlanjut. Konsentrasi serum tertinggi obat (konsentrasi puncak) biasanya dicapai sesaat sebelum obat terakhir diabsorpsi. Setelah mencapai puncak, konsentrasi serum turun bertahap. Pada penginfusan obat intravena, konsentrasi puncak dicapai dengan cepat tetapi kadar serum juga mulai turun dengan cepat.
Semua obat memilki waktu paruh serum, yakni waktu yang diperlukan proses ekskresi untuk menurunkan konsentrasi serum sampai setengahnya. Untuk mempertahankan Plateau yang terapeutik, klien harus mendapatkan dosis yang tepat dan teratur. Setelah dosis awal diberikan, klien menerima dosis setiap obat berikutnya ketika dosis sebelumnya mnecapai waktu paruhnya. Dengan cara ini, konsentrasi terapeutik obat yang hamper stabil dapat dipertahankan.
Klien dan perawat harus mengikuti penjadwalan dosis yang teratur dan mematuhinya untuk menentukan dosis dan interval waktu pemberian dosis. Dengan mengetahui interval waktu kerja obat, perawat dapat mengantisipasi efek suatu obat:
- Awitan kerja obat. Waktu ytang dibutuhkan obat sampai suatu respon muncul setelah obat diberikan.
- Kerja puncak obat. Waktu yang dibutuhkan obat sampai konsentrasi efektif tertinggi dicapai.
- Durasi kerja obat. Lama waktu obat bterdapat dalam konsentrasi yang cukup besar untuk menghasilkan suatu respon.
- Plateau. Konsentrasi serum darah dicapai dan dipertahankan setelah dosis obat yang sama kmebali diberikan.
3.1 Kesimpulan
Dalam mencapai kerja maksimal, obat memerlukan beberapa tahap. Yakni tahap farmasetik, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Sebelum obat benar-benar diserap oleh tubuh, obat perlu diubah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Masing-masing obat tidak akan mempunyai waktu perubahan yang berbeda-beda. Tergantung kandungan obat itu sendiri. Karena beberapa obat tidak 100% obat. . Keadaan asam-basa urin juga berpengaruh di dalam perubahan partikel obat tersebut.
Setelah obat mencapai kerja obatnya, obat akan dimetabolasi menjadi bentuk yang tidak aktif, sehingga lebih mudah untuk diekskresi. Setelah dimetabolisasi, obat akan keluar dari tubuh melalui ginjal, hati, usus, paru-paru, dan kelenjar eksokrin. Struktur kimia sebuah obat akan menentukan organ yang akan mengekskresinya.
3.2 Saran
Berdasarkan materi yang telah dijelaskan dalam makalah ini, maka perawat seyogyanya mengerti dan memahami akan medikasi khususnya dalam hal ini adalah tentang sifat kerja obat. Sehingga perawat dapat mengimplementasikannya dalam proses penanganan terhadap pasien. Maka asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien akan berjalan dengan baik dan maksimal. Karena jika perawat tidak paham mengenai medikasi akan menghambat penanganan terhadap pasien dan penanganan menjadi kurang maksimal bahkan dapat merugikan pihak pasien.
sumber :http://nissanisso-fkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-49831-Umum-sifat%20kerja%20obat.html
0 komentar:
Posting Komentar